Mataku kunang-kunang, tak lagi jelas melihat gambaran didepan mataku. Lantai keramik putih itu kini telah berubah menjadi merah pekat, terkena tetesan darah yang mengalir seiring bertambahnya sayatan luka...luka di tubuhku. Pusing di kepala ini karena di gantung terbalik tidak lagi kuhiraukan. Aku hanya ingin bisa melepaskan ikatan rantai besi yang melingkar di kakiku. Aku hanya ingin bebas, tidur dipelukan ibundaku tercinta. Itulah tempat ternyaman yang terbesit dalam pikiranku saat ini.
“mas, sungguh aku minta maaf..bukan maksudku ingin menumpahkan kopi panas di bajumu. Aku benar-benar tidak sengaja”, ujarku terisak.
“Halah, kamu itu memang sengaja. Kamu benci aku kan? Karena aku suka nampar kamu?”
“sungguh mas, aku benar-benar tidak ada maksud. Apapun yang mas lakukan, aku masih mencintaimu”
“asal kamu tahu yah. Aku itu memang dari awal hanya ingin nabokin kamu, mana pernah aku benar-benar cinta sama kamu.. cihhh, tak sudi”, sambil meludah di mukaku.
Ini sudah hari ketiga aku tergantung terbalik. Kalau aku tidak salah, besok adalah hari kamis, tukang cuci ku akan datang. Ahh, kesempatan emas. Aku harus banyak menyimpan tenaga, agar bisa berlari sekencang mungkin dari rumah laknat ini.
****
“Assalamualaikum. Ibu, ini Ijah..”
Alhamdulillah..” wa laikumsalam, iyah Ijah.. masuk”, ujarku parau. Pagi ini suamiku pergi ke kantor seperti biasa...akhirnya ada kesempatan untukku. Terima kasih Ya Allah.
Begitu membuka pintu, aku melihat raut wajah Ijah terperangah dan melongo melihat majikan wanitanya tergantung terbalik.
“ibuuu...”, ujar Ijah tersedu. Dia adalah pembantu setiaku yang sudah bersama keluargaku sejak aku masih berumur 15 tahun.
“ijah, cepat Ijah. buka ikatanku, aku mau pulang Ijah, pulang”
Ijah langsung membuka ikatanku dan membopongku keluar dari rumah.
“ibu pergi saja, biar saya yang dirumah...buat alibi bu”
Aku pun berlari sekencang yang ku bisa, padahal aku tahu lariku tak cukup kencang, karena rasa sakit di pergelangan kaki dan sayatan-sayatan di tubuhku. Aku yang saat itu hanya mengenakan baju dan celana yang sudah compang camping, menjadi pusat perhatian. Aku tak berani naik angkutan umum, aku tak berani melewati pusat kota. Aku hanya berjalan menyusuri pinggiran sungai di pinggir kota. Sedikit lagi aku akan sampai di rumah ibuku yang tercinta.
“ibuuu....” teriakku saat ibu membuka pintu rumah. Raut mukanya tapi berbeda. Beliau juga tidak berusaha memelukku. Kenapa ini?
Ibu membuka pintu rumah lebih lebar, disana sudah ada suami kejamku. Rasanya tulang di tubuhku remuk tak berbentuk.
“ayooo sayang kita pulang”, suamiku dengan nada manis.
Aku hanya bisa melihat ibu dan ayahku berdiri mematung tanpa ekspresi, entah apa yang sudah dilakukan oleh suami gilaku ini.
“TIDAK...AKU MINTA CERAI. SAAT INI JUGA, DETIK INI JUGA”, ujarku dengan sekuat tenaga dan sepucuk keberanian.
“terserah kamu...toh aku akan tetap cinta sama kamu”
NAJIS!!!
tapi tunggu............
tapi tunggu............
Dibalik badan suamiku, ada Ijah, pembantuku yang sangat kusayangi.
“kamu ngapain disini Ijah?”
“maafkan saya Ibu, maafkan saya...”, dia mendekatiku dan memelukku. Terasa ada besi yang menusuk perut dan rasanya...dingin.
*****
Aku terbangun di salah satu taman yang indah. Dengan pakaian yang bagus dan makanan yang berlimpah. Dimana aku?
Saat aku melihat kebawah, aku melihat sesosok wanita terbujur kaku, dalam sebuah peti mati.
Aku ingin melihat lebih dekat.. lebih dekat.
Wanita itu dimandikan, di dandani dan dibungkus dengan pakaian berwarna putih. Disamping kiri dan kanannya terlihat banyak orang menangis, banyak sekali.
Aku ingin melihat lebih dekat lagi.
Aaah, wanita itu aku. Dan Ijah, kenapa dia malah duduk di samping dan memeluk suami gila ku itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar