Aku teringat kisah seorang teman...
Ia adalah seorang  muslimah yg senantiasa terjaga. Hari-harinya  senantiasa diisi dengan  kegiatan bermakna.. Apalagi kalau bukan mengisi  kajian, membaca buku,  menulis tausyah dan sebagainya.
Suatu hari, ia memiliki  permasalahan dakwah yg begitu besar. Bahkan ia  bingung, kepada siapa ia  harus meminta bantuan... Tak ayal, dia hanya  bisa memohon dalam sujud  panjangnya agar segera diberi jalan keluar  terbaik.
Tak  berapa lama... Ia dikenalkan dengan seorang ikhwan, tepatnya terpaut  6  tahun yg pada saat itu, ikhwan tersebut memberikan bantuan berupa   masukan-masukan serta solusi mengenai problema dakwah yg sedang dialami   temanku itu.
Saat itu temanku benar-benar berterima kasih  serta mengucap rasa syukur  sedalam-dalamnya... Karena perlahan  problema dakwah yg sedang dihadapi  menemui titik terangnya.
Namun,  setelah titik terang ditemui.. ternyata menambah sebuah problema  baru.  Bagaimana tidak, kedekatannya dengan sang ikhwan tersebut..  ternyata  memunculkan benih-benih cinta dalam hatinya.
Sungguh,  sebenarnya temanku itu tak mau memiliki rasa seperti itu, ia  pun ingin  membuang jauh-jauh bayangan tentang ikhwan tersebut yg  sebenarnya sudah  dianggap oleh temanku itu sebagai seorang kakak. Ya!  hanya sebatas  kakak.
Tapi, apa mau dikata... rasa kagum karena kefahaman  ikhwan tersebut akan  ilmu agama serta keshalihannya ternyata mampu  mengalihkan keimanan  temanku itu. Ia selalu uring-uringan dan pada  akhirnya hidupnya jadi tak  bersemangat lagi.. Kalau dulu, ia bersujud  panjang karena rasa  khouf-nya yg ada.. kini dalam sujud panjangnya  selalu terhadirkan  genangan air mata, ingin disatukannya ia dengan  ikhwan tersebut.
Sampai suatu hari, ia menceritakan  semuanya padaku... dan aku pun  mencoba menenangkannya. Ia terus  menangis dan menangis sejadi-jadinya.  Ia sudah tak tahan lagi terhadap  kegalauan perasaannya. Ia takut rasa  itu akan semakin mencengkeramnya  dengan kuat dan akhirnya terbius oleh  hawa nafsu syaitan.
Aku  pun mencoba memberikan saran, untuk coba berterus terang terhadap   ikhwan tersebut akan perasaan temanku ini yg sebenar-benarnya. Malah   kalau perlu langsung menawarkan diri untuk minta dinikahinya. Bukankah   Siti Khadijah juga menawarkan diri kepada Rasululloh, hanya saja melalui   seorang perwakilan? Apakah menawarkan diri ini disampaikan melalui   perwakilan atau secara langsung oleh diri sendiri terserah, asalkan   caranya baik & sesuai dengan syariat Islam. Bila ingin maju tanpa   perwakilan tentu harus siap dengan satu syarat: harus siap mental!.
Temanku  akhirnya paham dan memberanikan diri untuk menawarkan diri  terhadap  ikhwan tersebut, tentu minta untuk dinikahi.. bukan untuk  dipacari. Dan  ia sudah siap dengan berbagai kemungkinan yg akan terjadi.  Tapi  bismillah saja lah, pikirnya. Toh aku bukan meminta pada ikhwan   tersebut tapi sebenar-benarnya aku meminta pada Sang Pemilik ikhwan   tersebut (red. Alloh), kata temanku.
Dan setelah beberapa  lama, aku kehilangan kabar temanku ini. Entah apa  yg telah terjadi,  namun rasa keingintahuanku begitu membuncah.. Sampai  pada akhirnya, aku  mendapat kabar darinya.. bahwa ikhwan tersebut telah  menikah, dengan  akhwat yg lain.
Aku ikut bersedih, tentu ada rasa  kekecewaan yg hadir terhadap diri  temanku tersebut. Tapi, ketika aku  menemuinya, ia begitu tegar.. dan  mengatakan "Aku sudah menawarkan diri  pada ikhwan tersebut, tapi ikhwan  tersebut justru menyerahkan undangan  pernikahannya padaku. Aku mungkin  telat menawarkan diriku padanya,  tapi sungguh aku yakin bahwa jodohku  tak akan pernah tertukar oleh  siapapun".
Degg... tiba-tiba aku terlemas. Kata-katanya  begitu menghujam dalam  kalbuku. Ia sungguh wanita sholehah.. Aku yakin,  ia akan mendapatkan  jodohnya yg terbaik kelak.
Setelah pertemuan itu. Aku tak bertemu lagi dengan temanku tersebut... Kita benar-benar loss contact sama sekali.
***

Kita  kembali dipertemukan.. tepatnya ketika aku berkunjung ke toko buku.  Ia  masih tampak seperti yg dulu, setelah pertemuan terakhirku dengannya   setahun yg lalu. Ia pun menghampiriku dan menyapaku, lalu mengajakku   untuk mampir ke sebuah rumah makan yg tak jauh dari toko buku itu.   Disanalah kita berbincang kembali... kemudian ia menceritakan padaku,   bahwa ia sempat ta'aruf namun gagal hingga kedua kalinya. Dengan hanya   karena sebuah alasan, bahwa temanku itu adalah seorang "Aktivis".
Aku  tak habis pikir mendengar ceritanya, wanita seperti dia, bisa  ditolak  ikhwan hanya karena alasan itu??!! Huhh..!! aku emosi sekali.   Jarang-jarang kan ada wanita yg seperti ini, sudah cantik, sholehah,   pemahaman ilmu agamanya banyak dan aktifis dakwah pula. Apalagi sih yg   dicari dari para ikhwan tersebut?!
Ahh, itu pasti karena  ikhwan tersebut takut menyeimbangi kafaah yg  dimiliki temanku ini.  Belum maju ke medan perang, ehh.. udah mundur  selangkah demi selangkah.  Capekkk dah!!
Tapi sekali lagi, tak ada rasa kekecewaan  yg muncul dari temanku ini..  meski aku yakin, namanya juga manusia,  tentu temanku merasakan sakit yg  terdalam di hatinya mengenai  kegagalannya berkali-kali dalam menuju  gerbang pernikahan.
***
Itu  dulu.. ketika 1,5 tahun yg lalu kita bercerita... Tapi lihatlah  kini,  surat undangan pernikahan berwarna merah telah berada di genggaman   tenganku. Akhir dari sebuah perjalanan seorang temanku.
Dan  sungguh  benar janji Alloh, "Perempuan-perempuan yg keji adalah untuk  yg keji  pula dan laki-laki yang keji untuk wanita-wanita yg keji,  sedangkan  wanita-wanita yg baik untuk laki-laki yg baik dan laki-laki  yg baik juga  diperuntukkan bagi perempuan-perempuan yg baik…” (QS.  An-Nur: 26).
  
Ternyata apapun yg telah Alloh  tetapkan bagi manusia merupakan hak-Nya,  pasti ada hikmah besar di  dalamnya, tergantung bagaimana kita menyikapi.
Dan sebuah  pembelajaran bagiku,  tentu  aku harus yakin seperti temanku ini,  keyakinan bahwa "Jodoh tidak akan  pernah tertukar". Insya Alloh.
♫•*¨*•.¸¸ﷲ¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♫•*¨*•.¸¸ﷲ¸¸.•*¨*•♫♥♥♥♥♥♥♥♥♥♥
Dikutip dari Renungan dan Kisah Inspiratif